Mengintip dalam Gelap

Liburan week end ini saya isi dengan berwisata ke Tatar Parahyangan, Bandung. Trip kali ini bertema kegelapan.

Blind Café

blind
Blind Cafe

Mungkin Anda sudah bisa menebak jenis cafe ini dari namanya. Blind Cafe dengan jargon “A journey of Taste” menawarkan pengalaman makan dalam suasana totally dark. Di Indonesia, baru ada satu restoran yang menawarkan konsep ini mengikuti konsep serupa di Eropa.

Blind Cafe terletak di Cihampelas Walk dengan koordinat 6.53’37” S, 107.36’18” E. Cafe ini terdiri dari dua lantai. Lantai pertama untuk memesan makanan dan menyimpan barang-barang terutama benda yang menimbulkan cahaya. Berbeda dengan lantai pertama yang terang benderang, di lantai dua suasananya gelap gulita. Hanya orang yang menggunakan night vision dan orang difable tunanetra (istilah difable lebih make sense daripada disable) saja yang terbiasa dengan suasana tersebut. Di tempat inilah nantinya kita bakal makarena eh makan.

Untuk naik ke lantai 2, kita dipandu oleh seorang difable tunanetra. Pengunjung memegang pundak teman di depannya sejak naik tangga dari lantai 1 sampai kita duduk di lantai 2. Semakin atas, kegelapan semakin nampak. Di meja makan itu, kita tidak tau ada benda apa dan siapa saja pengunjungnya. Benar-benar gelap. Kita tidak tau sebesar apa meja makannya, apalagi warnanya. Yang kita tau adalah piring, sendok dan gelas kita sendiri.

Makan dalam suasana gelap di Blind Cafe adalah sebuah episode singkat merasakan secara langsung bagaimana difable tunanetra mengarungi kehidupannya. Sebagai orang yang dikarunia penglihatan lebih baik, patutlah kita bersyukur atas nikmat mata ini. Bersyukur dalam arti menggunakannya di jalan kebaikan dan perbaikan. Daripada digunakan untuk berlama-lama di depan tipi, lebih baik digunakan berlama-lama di depan leptop untuk membaca ayat-ayat Allah yang tersebar di alam semesta dan dalam al-Kitab.

Namun demikian, kita jangan menganggap rendah difable tunanetra, karena itulah yang disebut sombong. Silakan baca bukunya Mas Rama, Blind Power, yang telah membuka fikiran saya mengenai kehidupan tunanetra.

Trip to The Moon & The Saturn

Bosscha
Bosscha

Ini adalah trip terjauh dalam pengalaman hidup saya. Trip ini gelap tapi tidak gulita. Selama ini saya baru bisa jalan-jalan di Indonesia dan beberapa negara Asean. Dalam hitungan semalem saya sudah sampai ke bulan bahkan Saturnus. Masih kalah sih sama perjalanan Mi’rajnya Rasul.. 😛

Ini kali pertama bagi saya berkunjung ke Bosscha Bandung. Pukul 21, saya memulai trip ke Bulan & Saturnus. Teropong pertama adalah teripong Zeiss yang dibangun 1923 oleh Pak Bosscha. Mas Irfan yang menjadi pemandu kami menjelaskan dengan rinci mengenai Bosscha dan teropong Zeiss ini.

Pak Bosscha adalah orang Belanda yang menjalankan pesan orangtuanya bahwa jika ingin diingat terus maka berkorbanlah untuk penelitian. Setelah Pak Bosscha berhasil mengembangkan bisnis kebun teh yang sebelumnya mati suri, dia membuat observatorium Bosscha di Lembang dengan koordinat 6.49’28” S, 107.36’57” E. Di teropong paling besar ini, kita tidak bisa ikut menggunakannya, hanya peneliti saja yang boleh menggunakannya.

Namun demikian, kita masih bisa melihat menggunakan teropong yang lebih kecil. Meskipun sedang berawan, ‘bulan separo’ masih sering nongol dan masih bisa diintip dibalik lensa okuler. Beruntung, waktu terbaik untuk melihat bulan adalah ketika bulan separo, karena cahaya matahari yang datang ke bulan berasal dari samping. Ini mengakibatkan terlihatnya bayangan kawah-kawah bulan di perbatasan gelap terang di bulan.

Setelah mengintip bulan, teropong diarahkan ke sebuah bintang. Bintang tersebut lumayan jelas terlihat bulat kecil putih dengan garis vertikal. Ternyata, itu adalah planet Saturnus yang memiliki cincin tea geningan. Subhanallaah, indah sekali alam semesta ini.

Saya dan teman-teman sangat berterima kasih kepada mas Irfan yang telah memandu kami di Bosscha dari jam 9 sampai jam setengah 11an. Kebaikannya semoga dibalas oleh Allah swt.

13 thoughts on “Mengintip dalam Gelap

  1. Pertamax!!!
    Wah, selama ini baru sempat mendengar tentang Blind Cafe dari TV aja..
    Ngaku deh, mangkum makannya belepotan kan?
    *nyengir…

    mangkum:
    tangan gw yg belepotan… 😛

  2. semoga di perjalanan berikutnya kita terbang ke Pluto ya, Mang. hehehe

    mangkum:
    keliatan ga ya pluto…
    gw agak aneh juga sih kenapa saturnus bisa keliatan? kan dia ga ngeluarin cahaya…? ada yg bisa bantu jawab?
    setelah tanya ke temen kantor gw, cahayanya dari matahari. memang kalau dari Bandung yang sering keliatan itu saturnus. kalau kemaren ga berawan, keliatan warna-warni katanya. kalau timingnya pas, bisa juga kita liat pluto. ke sana lagi yuk!

  3. Di Ciwalk ya…kok saya kapan itu kesana, ujung2nya makan makanan Jepang aja….
    Padahal si bungsu pernah ke Blind Cafe sama teman2nya…tapi kok nggak ngajak atau cerita heboh, berarti nilainya masih kalah dengan resto yang lain.

    Saya di Boscha hanya siang hari…kalau malam dingin banget ya..

    mangkum:
    iyah, apalagi buat orang jakarta, mesti pake jaket.
    Blind emang biasa aja si bu en, selama kita ga bisa mengambil sesuatu… *cieeeh…*

  4. Wah.. pengen ke Boscha sama anak2 masih belum kesampaian.. perlu buat reserfasi ya Mangkum? Gimana caranya yah..? 🙂

    mangkum:
    iya mesti booking dulu. ada jadwal kunjungannya mas. dibagi 2 shift: siang sama sore. duh sayang jadwalnya ga saya foto…
    ntar saya tanya dulu… mudah2an temenku masih pada inget.

    Nah ini dia, infonya bisa dilihat di sini: http://bosscha.itb.ac.id/images/Kunjungan/brosur_kunjungan_ob.pdf. Untuk booking bisa hubungin no telp ini: 022-2786001

  5. wew.. jadi oge gening ka banung
    kumaha nyasar teu ??

    mangkum:
    nya henteu atuh, soalna jeung urang banung oge jalan2na 😛

  6. Pengalaman yang menarik, lantas di Blind Cafe pesan makanan apa? Makanannya nyasar nggak ke hidung? 😀

    mangkum:
    hampir nyasar sih… hehehe…8x

  7. Wah, aku belon pernah ke Boscha nih. Ke Blind Cafe juga belon…Kayaknya di Ciwalk belum pernah nemu deh yang kayak gini. Lain kali boleh dicari. Btw, pesan makanannya di mana?

    mangkum:
    Kopdar bloggers aja di bandung sekalian ke Gedung Merdeka yang ditulis Mr Oem itu…
    Pesen makannya di bawah, terang-benderang kok, tapi makanan di atas piringnya ga diliatin di tempat terang.

  8. hmm… enaknya ngintip di tempat gelap dengan cahaya remang-remang… diiringi desahan jangkrik
    pasti siiip.

    mangkum:
    wah sampurna mas ini mah…

  9. Mangkum, hehe. Saya waktu di Bandung malah belum sempat kesana. Temen2 ndak ada yang mau diajakin makan gelap2an. Tapi saya sih penasaran hehe.

    Bosscha! Wah dulu saya terobsesi banget ama bangunan itu. Akhirnya kesampean juga kesana walau cuma ngeshoot buat film dokumenternya. Pengen neropong oge euy, harus reservasi dulu yah mang? Trus ada minimal orang dalam rombongan kah? Kabita euy. Kapan-kapan kalo kesana lagi ajak-ajak Kang. Hehe. Salam -japs-

    mangkum:
    nah orang banung aja belum pernah… 😀
    wah gatau juga ya apakah harus rombongan? ntar kalau ke sana lagi, mau ikutan ngga, japs?

  10. menarik abis ni cafe..makasih lho infonya..mayan nih kalo mau ngajak temen-temen..wah gila konsepnya oke..

    mangkum:
    silakan mangga… di jakarta belum ada sas, bikin aja… 😀

  11. Put sama tuh dengan Auzi..baru denger ttg Blind Cafe melalui tv…

    Aih..aih..pake koordinat segala mangkum..apa kemana2 bawa GPS, ya ? 😆

    Bersyukur, ya…
    jadi inget ama postingan yang ini “http://fokat.wordpress.com/2009/03/13/kekuatan-bersyukur/”
    *promosi detected*

    mangkum:
    Iyah ternyata emang dengan memberi koordinat sangat membantu melihat spot di Google Earth atau di GPS. Apalagi kalau peta tempat nikah. Kebanyakan memusingkan, coba kasih koordinatnya, kan lebih gampang menemukan tempat itu…

    Duh ada yg promosi di mari…. 😀

Leave a comment